Kamis, 31 Juli 2008

Lazuardi

coba

Biaya Pendidikan

Setelah berhasil memilih sekolah, orang tua kembali dibuat berpikir untuk mencari tambahan dana untuk biaya masuk sekolah, bagi sebagian orang tua yang jeli "memanage" generasinya tentu telah mempersiapkan sejak lama untuk kebutuhan saat ini, misalnya dengan mengikuti asuransi pendidikan, tabungan pendidikan, dana pendidikan, atau beberapa nama yang sejenis yang menawarkan sejumlah dana setelah menabung atau mengikuti asuransi dalam waktu tertentu, tetapi bagi mereka yang memang tidak punya dana terpaksa berpasrah diri pada keadaan.
Pada beberapa iklan televisi orang-orang tua terpaksa menjual atau "menyekolahkan" untuk istilah menggadaikan barang-barang kesayangan dan menjadi tumpuan satu-satunya, kendaraan, perhiasan, atau kembali meminjam pada lembaga-lembaga keuangan atau kalau mendesak pada rentenir dengan bunga selangit.
Demi sang buah hati, anak masuk sekolah baru; identik dengan baju, sepatu, tas dan setumpuk buku yang harus dibeli yang disiapkan oleh sekolah, walau saat ini buku gratis via internet sudah mulai di luncurkan dan mungkin hanya akan dinikmati mereka yang punya akses internet. dibalik itu sebagian orang tua menyanyikan paduan suara yang memilukan; biaya sekolah semakin mahal, biaya kuliah semakin melangit. Orang tua seakan ingin berteriak dibalik diamnya' Nak, sampai kapan kami mampu bertahan dengan keadaan ini.... maafkan kami nak!

Jumat, 25 Juli 2008

Memilih sekolah : hak orang tua atau anak?

Ujian Akhir Nasional telah berakhir diikuti dengan pengumuman dan pada akhirnya masing-masing anak-anak kita berbekal selembar ijazah bersama orang tua mereka berburu sekolah-sekolah favorit ditempat mereka masing-masing atau di kota lain bahkan di pulau lain, itu bagi mereka yang punya kemampuan memilih sekolah. Bagi mereka yang cukup tamat dari taman kanak-kanak di kampung mereka dan berpindah sekolah dasar disekitar mereka kemudian melanjutkan SMP dan akhirnya SMA cukup di kampung saja, sekolah favorit tinggallah surga telinga. Di kepala mereka Sekolah favorit adalah sekolah mahal, siswanya cerdas-cerdas, mendapat pelayanan pembelajaran yang memadai, gedungnya berdiri megah. Sangat kontras dengan sekolah dikampung yang cukup puas dengan bangunan yang diberikan pemerintah yang terkadang lupa direnovasi sehingga bila angin cukup kencang dan hujan deras terkadang basah karena atap bocor. Bersekolah di dekat rumah, murah dan atau bahkan gratis merupakan idaman orang tua kebanyakan. Sekolah merupakan titipan anak agar mereka tidak membuat gaduh dirumah, atau tidak mengganggu ketika mereka bekerja. Fungsi sekolah menjadi tempat menghabiskan waktu muda anak-anak mereka. Padahal betapa besarnya tanggung jawab orang tua untuk mendidik anaknya, karena betapapun sekolah berbuat untuk anaknya tetapi jika orang tua tidak merasa bertanggung jawab memanusiakan anaknya upaya sekolah itu tidak cukup berarti.
Kini saatnya orang tua memilih untuk anaknya. Apapun akan dilakukan oleh orang tua untuk memasukkan anaknya di sekolah tertentu, sebuah pertaruhan harga diri “ gengsi” dimata orang lain. Padahal anaknya memiliki kemampuan di bidang skil sehingga lebih pantas dimasukkan ke sekolah kejuruan, tetapi isi kepala orang tua selalu “SMA Favorit” menjadi harga mati. Anak menjadi martir bagi kepentingan orang tua. Sebuah kebanggaan semu yang harus ditanggung anak. Betapa tersiksanya. Keiinginan orang tua untuk memaksakan kehendaknya terkadang menjadi dilema bagi sekolah apalagi terkadang tawaran dalam bentuk materi dan disertai dengan surat sakti yang terkadang membuat guru dan kepala sekolah dibuat “keder”. Menegakkan disiplin dan aturan main terkadang membuat guru menjadi pihak yang terpojok. Loyalitas terkadang diukur dengan kesanggupan memenuhi keinginan bos-bos besar walau melanggar aturan main, kalau tidak berarti dianggap anak buah yang tidak loyal. Kasihan deh guru, apalagi kepala sekolah dan panitia penerimaan siswa
Betapa bijak orang tua membiarkan anaknya memilih sekolah yang dia inginkan, orang tua hanya akan mengarahkan bagaimana dia dapat bersekolah dengan baik di tempat yang dipilihnya. Anak akan merasa merdeka dan bebas berekspresi bahkan lebih bertanggung jawab atas pilihannnya. Apalagi jika kita membuang angan kita tentang sekolah yang hanya dibatasi oleh dinding dengan sekat segi empat dengan duduk manis dan guru yang tampil rapi berdiri didepan berkutbah tentang kebenaran-kebenaran dan hukum-hukum alam. Padahal beberapa meter dari ibu jari kakinya diluar sekat kelasnya terbentang sekolah yang amat maha luas untuk di kuliti dan menyimpan sejuta rahasia yang siap dipecahkan dan diurai.